Senin, 12 Januari 2015

TASAWUF MODERN

TASAWUF

STANDAR KOMPETENSI

5.  Memahami Tasawuf


KOMPETENSI DASAR
5.1.  Menjelaskan pengertian, asal usul dan istilah-istilah dalam  tasawuf.
5.1.1. Mendefinisikan tentang tasawuf
5.1.2. Menjelaskan asal usul tasawu
5.1.3. Menyebutkan istilah-istilah dalam tasawuf
5.2.  Menjelaskan fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern
5.2.1. Menjelaskan karakteristik tasawuf
5.2.2. Menunjukkan pentingnya tasawuf
5.2.3. Menjelaskan hubungan antara akhlak dengan tasawuf
5.3.  Menunjukkan contoh-contoh perilaku bertasawuf
5.3.1. Menyebutkan tokoh-tokoh dalam tasawuf
5.3.2. Menyebutkan maqamat-maqomat dalam tasawuf
5.4.  Menerapkan tasawuf dalam kehidupan modern
5.4.1. Menjelaskan hikmah bertasawuf
5.4.2. Meneladani orang-orang yang bertasawuf
5.4.3. Menunjukan peran tasawuf dalam kehidupan modern


A.  PENGERTIAN TASAWUF.
1.  Pengertian Tasawuf Secara Bahasa Dan Istilah
Tasawuf berasal dari bahasa Arab yaitu: “at-Tashawwufu” (اَلتَّصَوُّفُ) yang artinya berbulu yang banyak; yakni menjadi sufi itu ciri khas pakaiannya adalah selalu terbuat dari bulu domba (wol).
Menurut keyakinan Jurji Zaidan, bahwa ada hubungan kata arab ”shuufi” dengan kata Yunani ”Shopia”, yang berarti ”kebijaksanaan”.
Dari segi Linguistik (kebahasan) tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana, Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian Tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat tergantung kepada sudut pandang yang digunakanya masing-masing.
1.  Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang terbatas, maka Tasawuf adalah upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
2.  Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang harus berjuang, maka Tasawuf adalah upaya memperindah diri dengan akhlaq yang bersumber dari ajaran Islam dalam rangka mendekatkan dirti kepada Allah SWT.
3.  Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang bertuhan maka Tasawuf adalah Kesadaran Fitrah (Ke Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian Tasawuf pada intinya adalah; Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt. Dan atau Kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
2.  Pengertian Tasawuf Menurut Para Ahli Tasawuf:
1.  Muhammad Amin Al-Kurdy: Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridaan Allah dan meninggalkan laranganNya menuju kepada perintahNya.
2.  Imam Al Ghozali mengemukakan pendapat Abu Bakar Al Kattany: Tasawuf adalah budi pekerti; barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam Tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlaq (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya.
3.  Mahmud Amin Al Nawawy mengemukakan pendapat Al Junaid Al Baghdady: Tasawuf adalah memelihara (meggunakan) waktu (lalu), ia berkata: Seorang hamba tidak akan menekuni (amalan Tasawuf) tanpa aturan tertentu, (menganggap) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada tuhannya dan merasa tidak berhubungan (dengan TuhanNya) tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah kepadaNya).
4.  Al Suhrawardi mengemukakan pendapat Ma’ruf Al Karakhy: Tasawuf adalah mencari hakikat dan meniggalkan sesuatu yang ada ditangan makhluk (kesenangan duniawi)
5.  Al-Junaid Al-Baghdadi (W. 279H/910M), Sebagai Bapak Tasawuf Moderat; Tasawuf adalah keberadaan bersama Allah tanpa adanya penghalang
6.  Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (W. 465h/1073m): Tasawuf adalah ajaran yang menjabarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan sahwat, dan menggindari sikap meringankan ibadah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tasawuf adalah cara mensucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Jadi unsur utama tasawuf adalah penyucian diri, dan targetnya adalah keselamatan dan kebahagiaan.
B. ASAL-USUL TASAWUF
Asal usul tasawuf dapat dipahami dari uraian berikut:
1.  Shafa (suci). Karena kesucian batin dan kebersihan tindakannya.
2.  Shaff (barisan). Karena para Sufi memiliki iman kuat, jiwa yang bersih dan senantiasa memilih barisan terdepan dalam sholat berjamaah.
3.  Shaufanah, yakni sejenis buah-buahan kecil berbulu dan banyak tumbuh dipadang pasir jazirah Arabia.  Nama ini digunakan karena banyak sufi yang memakai pakaian berbulu yang terbuat dari bulu domba kasar.
4.  Shuffah (serambi tempat duduk). Yakni shuffah Masjid Nabawi di Madinah yang disediakan bagi para tuna wisma dari kalangan muhajirin dimasa Rasulullah S.A.W. para tuna wisma tersebut biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi), karena mereka bernaung di serambi masjid.
5.  Shafwah (yang terpilih atau terbaik); sufi adalah orang yang terpilih diantara hamba-hamba Allah SWT.  Karena ketulusan amal mereka kepadaNya.
6.  Theosophi (Yunani: theo :tuhan; shopos: hikmah) yang berarti hikmah atau kearifan ketuhanan.
7.  Shuf (bulu domba); karena para shufi biasa memakai pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang kerendahan hati, untuk menghindari sikap sombong disamping untuk menenangkan jiwa, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Syuhrawardi mengatakan bahwa mereka berkumpul di Masjid Madinah, seperti halnya orang sufi berkumpul di Zawiyah dah Ribath. Mereka tidak bergerak untuk berusaha mencari nafkah dan kebutuhan hidup. Rasulullah sendiri menolong orang banyak untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepada mereka.
Menurut Harun Nasution, ada lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu: al‑suffah (ahl al­-suffah), (orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf (kain wol).
C. ISTILAH-ISTILAH DALAM TASAWUF
1.  Al-Maqamat
Al-Maqamat secara bahasa atau etimologi dari bahasa Arab ”maqam” yang berarti “tempat orang berdiri atau pangkal mulia atau kedudukan spiritual”, dan dalam terminologi sufistik al-maqamat berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. kemudian al-maqamat digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang Sufi untuk berada dekat dengan Allah SWT. Dalam Bahasa Inggris al-maqamat dikenal dengan istilah ”stages” yang berarti ”tangga”.
Menurut Al Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.
Menurut Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) al-maqamat adalah kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
2.    Tingkatan Al-Maqamat
Sedikitnya ada tujuh al-maqamat yang harus ditempuh oleh seorang Sufi agar dapat berdekatan dengan Allah. dikalangan para Sufi tidak sama pendapatnya tentang jumlah al-maqamat dalam tasawuf.
Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (dzauq), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah.
Menurut Muhammad Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arufi mazab ahl al Tasawwuf, bahwa al-maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-Taubah, al-Zuhud, al-Shabr, al-Faqir, al-Tawadlu’,al-Taqwa, al-Tawakal, al-Ridha, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah.
Menurut Abu Nasr al-Sirraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah al-maqamat hanya tujuh, yaitu: al-Taubah. al-Wara’, al-Zuhud, al-Farq, al-Shabr, al-Tawakkal dan al-Ridla.
Dan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mangatakan bahwa al-maqamat itu ada delapan yaitu al-Taubah. al-Wara’, al-Shabr, al- Zuhud, al-Tawakkal, al- Mahabbah, al-Ma’rifah,  dan al-Ridla.
Walaupun ada perbedaan pendapat dalam jumlah maqamat, namun jumlah al-maqamat yang mereka sepakati, adalah: al-Taubah, al-Zuhud, al-Wara’, al-Farq, al-Shabr,  al-Tawakal, al-Ridha. Sedangkan al-Tawadlu’, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah tidak disepakati sebagai maqamat.
1.   Al-Taubat: memohon ampun kepada Allah SWT atas segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat dan berjanji tidak akan mengulangi.
2.   Al-Wara’: meninggalkan segala keraguan antara yang halal dan haram (Syubhat)
3.   Al-Zuhud: pola hidup yang menghindari dan meninggalkan keduniawian karena ibadah kepada Allah SWT, serta lebih mencintai kehidupan akhirat.
4.   Al-Faqr: tidak meminta lebih dari apa yang telah diberikan Allah SWT.
5.   Al-Shabr: dalam menjalankan perintah Allah, dalam menahan diri dari segala perbuatan jahat, dan ketika menerima cobaan dari Allah SWT.
6.   Al-Tawakkal: bersandar atau mempercayakan diri kepada Allah SWT dalam menghadapi segala rintangan.
7.   Al-Ridla: rela menerima segala apa yang telah ditentukan dan ditakdirkan, dan rela berjuang dijalanNya, rela membawa kebenaran, dan berkorban dengan harta, pikiran dan jiwa.
Dengan melihat al-maqamat yang harus dilalui oleh seorang Sufi untuk mencapai tujuannya, yakni berada sedekat-dekatnya dengan Allah SWT, maka dapat dipahami bahwa al-maqamat tersebut akan mengantarkan seorang Sufi mempunyai Akhlaqul Karimah yang tinggi.
Al-Ghozali menjelaskan bahwa untuk mencapai akhlaq yang baik, seorang harus dapat mengupayakannya melalui jiwa dan kebiasaannya, terutama dengan menghilangkan hawa nafsu. Hal ini terkait dengan konsep Al-Ghozali tentang kabahagiaan yang dicapai melalui dua hal yaitu perbautan (amali) yakni membersihkan jiwa menghilangkan hawa nafsu yang dapat menimbulkan kesenangan dalam dunia (hub dunya) dan pengetahuan (‘ilmi). Yakni untuk menghasilkan kesempurnaan amal itu sendiri.
3.    Al-Ahwal
4.    Tingkatan Al-Ahwal
5.    Perbedaan Al-Maqamat dan Al-Ahwal
6.    Kaitan Al-Maqamat dan Al-Ahwal dalam Fenomena sosial
D.   KARAKTERISTIK TASAWUF
Menurut Analisa Ilmuan Barat (Orientalis), Sebagian peneliti telah berusaha mandefinisikan karakteristik umum yang sama di antara berbagai kecenderungan tasawuf atau mistisisme.
Menurut William James, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut :
1.    Merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab, bagi para penempuhnya ia merupakan kondisi pengetahuan serta dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakekat realitas yang baginya merupakan ilham, dan bukan merupakan pengetahuan demonstratif.
2.    Merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab ia semacam kondisi perasaan (states of feeling), yang sulit diterangkan pada orang lain dalam detail kata-kata seteliti apa pun.
3.    Merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Yakni tidak berlangsung lama tinggal pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan sangat kuat dalam ingatan.
4.    Merupakan suatu kondisi pasif (passivity). Yakni seorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu menguasainya.
Menurut R.M.Bucke, terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisisme, yaitu ;
1.    Pancaran diri subyektif (subyective light).
2.    Peningkatan moral (moral elevation).
3.    Kecerlangan intelektual (intelektual illumination).
4.    Perasaan hidup kekal (sence of immotality)
5.    Hilangnya perasaan takut mati (loss of fear of death)
6.    Hilangnya perasaan dosa (loss of sense of sin).
7.    Ketiba-tibaan (suddynness).

Karakteristik umum tasawuf atau mistisisme, sebagaimana yang dikemukakan James dan Bucke, dapat dikatakan terdapat pada sebagian besar aliran tasawuf atau mistisisme. Namun, karakteristik yang dikemukakan di atas itu belum lagi lengkap, sebab masih banyak ciri-ciri lainya yang tidak kalah penting yang tidak tercakup disana. Misalnya perasaan tentram, keiklasan jiwa atau penuh penerimaan, perasaan fana penuh dalam realitas mutlak, perasaan pencapaian yang mengatasi dimensi ruang dan waktu, dan lain-lain.

menurut Bertrand Russell, setelah menganalisa kondisi-kondisi tasawuf atau mistisme, telah berusaha ubtuk membatasi ciri-ciri flosofis tasawuf atau mistisisme kedalam empat karakteristik yang menurutnya akan membedakan tasawuf atau mistisisme dari filsafat-filafat lainya, pada semua kurun-masa dan di seluruh penjuru dunia. Empat karakteristik itu ialah sebagai berikut ;
1.    Keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.
2.    Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi, bagaimana pun bentuknya.
3.    Pengingkaran atas realitas zaman.
4.    Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan kontradiksi dan diferensiasi, yang dikendalikan rasio analitis.

E.  PENTINGNYA TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN
Masyarakat modern adalah himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari masyarakat tradisional.
Menurut Deliar Noer, ciri-ciri masyarakat modern adalah:
1.  Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi.
2.  Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
3.  menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.
4.  Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik kriktik, gagasan dan perbaikan dari manapun datangnya.
5.  Berpikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.
Kehidupan modern timbul dan berkembang pesat di Negara-negara Barat (Amerika Utara dan banyak Negara Eropa). Kehidupan modern disana ditandai dengan kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan tegnologi, sedangkan dalam bidang keagamaan ditandai dengan gejala-gejala semakin menjauhnya anggota masyarakat dari ajaran akhlaq ilahi.
Menurut Prof. Komaruddin Hidayat, Salah satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol ialah sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan yang didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan tegnologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk terhadap kedigdayaan iptek yang berporos pada rasionalita (akal pikiran). Realitas alam raya kini hanya dipahami semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannnya dengan Tuhan. Alam raya dipahami sebagai jam raksasa yang bekerja mengikuti gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh Tuhan, selanjutnya Tuhan “pensiun” dan tak ada lagi urusannya dengan kehidupan di dunia ini.
Dunia materi dan non-materi dipahami secara terpisah sehinggga dengan cara demikian masyarakat modern merasa semakin otonom dalam arti tidak lagi memerlukan campur tangan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Hasilnya ialah masyarakat modern sangat agresif terhadap kemajuan. Modernisme yang berporos pada rasionalitas, harus diakui, telah mampu menghantarkan manusia pada berbagai prestasi kehidupan materi yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Budaya modern tersebut, dewasa ini, telah tampak pengaruhnya di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, khususnya di masyarakat perkotaan. budaya modern yang kita ambil kulitnya saja dapat megikis budaya kebersamaan sehingga menjadi budaya individualistik yang satu sama lain hanya berkonsentrasi pada pemberdayaan diri tanpa memperdulikan nasib dan kondisi orang lain. Diperparah lagi dengan dominasi rasionalitas manusia modern yang segala sesuatunya hanya diukur dari hal-hal yang bersifat empiris, sehingga tak sedikit manusia modern yang menganut pemahaman bahwa seolah-olah Tuhan itu telah tiada, dalam arti manusia lebih memperturutkan hawa nafsu syetan dari pada memperhatikan bisikan hati yang bersumber dari tuhan.
Cirikhas modern adalah perubahan, dan perubahan itu merupakan gejala harian yang begitu cepat. Karena itu, siapapun harus beradaptasi dengan percepatan perubahan tersebut. Sebagai umat Islam, disamping kita dituntut untuk istiqomah dalam menjalani ajaran Islam, kita juga harus kreatif untuk menagkap setiap makna perubahan tersebut. Iman kita harus stabil tapi didukung oleh pemikiran dan pemahaman yang dinamis, sehingga kita bisa maju besama perkembangan zaman tanpa mengorbankan keImanan, inilah gambaran tentang peran dan fungsi tasawuf yakni penyeimbang dan pengendali dari setiap adanya perubahan.
Kehidupan masyarakat modern yang serba cepat dan cendrung materialistis ini sebenarnya sudah berada pada titik kejenuhan. Pada kendisi yang demikian itulah tasawuf sangat diperlukan dengan banyaknya fenomena kerinduan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual, banyaknya bermunculan majlis dzikir dan kajian-kajian keislaman yang dikelola secara baik oleh para da’i atau tokoh-tokoh Agama Islam. Bahkan tidak sedikit kelompok-kelompok tertentu dan umat Islam yang mendirikan lembaga-lebaga ke Islaman yang kental dengan nilai da’wah. Ini menunjukkan bahwa geraka tasawuf kembali dirindukan oleh manusia-manusia modern.
F.  HUBUNGAN ANTARA AKHLAK DENGAN TASAWUF
G.   TOKOH-TOKOH DALAM TASAWUF
H. MAQAMAT-MAQOMAT DALAM TASAWUF
I.      HIKMAH BERTASAWUF
J.    ORANG-ORANG YANG BERTASAWUF
Rasulullah dalam kehidupan beliau telah menggambarkan sebagai orang sufi yang sangat sederhana,  beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf.
Beliau sering melakukan khalwat di Jabal Nur untuk mendapatkan petunjuk dari tuhan-Nya. Berulangkali Nabi menempuh kehidupan yang seperti itu, dengan bekal yang sangat terbatas; berupa roti kering, buah-buahan dan air putih, yang menggambarkan kesederhanaan seorang sufi.
Di Jabal Nur, Nabi mengasingkan dirinya (‘uzlah) dan hidup sendirian (infirad) dari masyarakat Quraisy yang semakin hari semakin rusak akhlaknya. Ditempat itu, beliau ingin bertemu dengan tuhan-Nya (liqa) dan memohon petunjuk-Nya serta mencari kehidupan yang berbeda dengan kehidupan Quraisy yang setiap saat melakukan dosa. Akhirnya datanglah malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu Allah yang mengandung petunjuk dan ajaran, yang selanjutnya disampaikan kepada umat manusia, agar terhindar dari jalan yang sesat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
Setelah Nabi resmi diangkat menjadi Rasul, ia mulai melaksanakan tugasnya, dengan menanamkan keimanan dan akhlaq mulia kepada masyarakat Quraisy.
Meskipun nabi sebagai kepala pemerintahan, ia masih tetap memiliki kehidupan yang sederhana, sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Sahabatnya, bahwa dirumah beliau hanya terdapat selembar tikar dan makanan yang sederhana. Dan kadang-kadang juga Nabi dan keluarganya berpuasa karena tidak ada makanan di rumahnya.
Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai Maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada kehidupan sufi antara lain:
1.  Abu Bakar As-Siddiq; wafat tahun 13 H.
Sebagai saudagar yang kaya raya ketika masih berada di Makkah. Namun ketika hijrah ke Madinah harta kekayaannya habis karena disumbangkan untuk kepentingan tegaknya agama Allah, sehingga ia dan keluarganya mengalami kemiskinan dalam hidupnya.
2.  Umar bin Khattab; wafat tahun 23 H.
Sebagai orang yang tinggi kasih sayangnya terhadap sesama manusia. Dan ketika menjadi Khalifah, beliau selalu mengadakan pengamatan langsung terhadap keadaan rakyatnya. Suatu ketika Umar mendapatkan seorang ibu yang berpura-pura memasak untuk menenangkan tangis anak-anaknya yang sangat lapar. Ketika umar menyelidikinya, ia malihat bahwa yang di masak itu adalah batu, maka beliau bertanya kepada ibu itu, mengapa ibu tidak memasak roti, hanya memasak batu? Jawab si ibu, saya tidak mempunyai gandum. Seketika itu pula Umar pulang dengan cepat mengambil gandum di Baitul Mal kemudian ia sendiri yang memikulnya untuk diberikan kepada ibu yag miskin tadi. Inilah sikap Tawadhu’ Umar sebagi seorang sufi dan yang senang hidup dalam kemiskinan sebagai halnya Abu Bakar.
3.  Utsman bin Affan; wafat tahun 35 H.
Meskipun ia diberi kelapangan rizki oleh Allah, namun ia selalu ingin hidup yang sederhana. Sedangkan harta kekayaannya yang berlimpah ruah, selalu dijadikan sarana untuk menolong orang-orang miskin. Hal ini tergambar pada dirinya bahwa ia termasuk sufi, karena beliau tidak tertarik kepada kekayaan atau kesenangan duniawi.
4.  Ali bin Abi Thalib; wafat tahun 40 H.
Beliau juga termasuk orang yang senang hidup sederhana, dalam suatu riwayat, bahwa ketika sahabat lain berkata kepadanya, mengapa Khalifah senang memakai baju itu? Padahal baju itu sudah robek-robek, Ali menjawab, aku senang memakainya agar menjadi tauladan kepada orang banyak sehingga mereka mengerti bahwa hidup sederhana itu merupakan sikap yang mulia. Maka sikap dan pernyataan inilah yang menandakan diri beliau sebagai seorang sufi.
Dan untuk contoh-contoh perilaku bertasawuf dari tokoh-tokoh ulama sufi thabi’in antara lain:
1.  Al-Hasan Al-Basry; hidup tahun 22 H-110 H.
Ia mendapatkan ajaran Tasawuf dari Hudhaifah bin-Yaman, sehingga ajaran itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Maka ia dikenal sebagai ulama sufi yang sangat dalam ilmunya tentang rahasia-rahasia yang terkandung dalam ajaran Islam, dan sangat menguasai ilmu batin.
Ilmu yang didapatkan dari gurunya selalu diajarkan kepada murid-muridnya yang bertebaran di kota Basrah. Iapun dikeal sebagai orang yang pertama kali menggunakan Masjid Basrah sebagai madrasah (tempat mengajarkan ilmu agama)
Dalam mengamalkan ajaran zuhud, ia berpendapat bahwa kita harus lebih dahulu memperkuat perasaan tawakkal kepada Allah, khauf (takut) terhadap siksaan-Nya dan raja’ (mengharapkan) karunia-Nya. Kemudian kita harus meninggalkan kenikmatan dunia, karena hal itu merupaka hijab (penghalang) dari keridaan Allah SWT.
Ada beberapa pernyataan (kata-kata hikmah) yang pernah dilontarkan kepada murid-muridnya;
a)    Perasaan takut yang mengarah kepada perasaan tentram, lebih baik daripada perasaan tentram yang akan menimbulkan perasaan takut.
b)    Tafakur membawa kita kepada kebaikan yang akan dikerjakannya. Menyesal atas kesalahan, berarti kita sadar dan akan meninggalkannya. Barang yang bersifat fana (binasa) tidak dapat mengalahkan barang baqa (tetap), meskipun yang fana itu lebih banyak daripada yang baqa. Maka jagalah dirimu dari sesuatu yang menjadi tipuan bagimu.
c)    Orang yang beriman selalu berduka cita, karena ia hidup antara dua ketakutan;yakni mengenang dosanya yang telah lalu dengan segala ganjarannya kelak, serta takut ketika memikirkan dosa yang mungkin akan diperbuatnya.
d)    Akhir kehidupan dunia merupakan awal kehidupan akhirat di kubur.
2.  Rabi’ah Al-Adawiyah; wafat tahun 185 H.
Manusia harus sadar bahwa kematin sedang menghadangnya, hari kiamat akan menepati janjinya dan hambanya akan dihadapakn kepada pengadilan di akhirat.
Ia terkenal sebagai ulama sufi wanita yang mempunyai banyak murid dari kalangan wanita pula.
Kalau Al-Hasan menganut zuhud dengan menonjolkan falsafah tawakal, khauf dan raja’, maka Rabi’atul Adawiyah menganut zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan shauq (rindu) kepada Allah.
Salah satu pernyataannya yang melukiskan falsafah hubb dan shauq yang mewarnai kehidupannya adalah: ”Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya, dan tidak pula tamak untuk mendapatkan syurga (karena hal itu) akan menjadikan saya seperti pencari imbalan yang berakhlak buruk. (ketahuliah), bahwa saya menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya”.
3.  Sufyan bin Said Al-Thury;hidup tahun 97 H -161 H.
Ia dilahirkan di Kufah, kemudian meninggal di Basrah. Dan beliau termasuk salah seorang ulama sufi yang dikagumi, karena kezuhudan serta kealimannya.
Masa hidupnya diisi dengan pengabdian secara Tasawuf, dan aktif mengajarkan ilmu yang ada padanya. Iapun selalu menyeru kepada sesama Ulama’ agar menjauhkan dirinya dari godaan dunia yang sering membawa manusia lupa mengabdikan dirinya kepada Tuhan.
Salah satu kata hikmahnya yang melukiskan bahaya yang menimpa ulama, bila menyenangi kehidupan dunia, berbunyi: “Apabila ulama yang rusak; maka siapakan yang akan memperbaikainya dan kerusakan mereka karena kecenderungannya kepada kehidupan dunia”.
Pendirian beliau sangat teguh dan tidak mau mendekati penguasa, tetapi suatu ketika, ia dipanggil menghadap oleh Khalifah Al-Mansur untuk mempertanggung jawabkan sikapnya terhadap penguasa. Ia tetap lantang pembicaraannya di hadapan khalifah sehingga orang menganggap bahwa ia pasti dipenjara, tetapi hal itu tidak terjadi baginya.
Beliau pernah ditanya oleh seorang yang mengatakan: jika sufi berkhalwat (menyepi) untuk beribadah kepada Allah, apakah yang akan dimakannya? Beliau menjawab: orang yang takut kepada Allah, tidak akan khawatir apapun yang menimpanya. Dan seorang sufi, hanya berusaha sendiri untuk biaya hidupnya, sekedar memperkuat pisiknya beribadah kepada Tuhan-Nya. Seorang tidak boleh memberatkan orang lain, termasuk tidak mengemis makanan dan minuman.

K. PERAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN

L.       TAHAPAN-TAHAPAN TASAWUF
Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebut sebagai “Al-Sa’adah” oleh Al-Ghazali dan “Al-Insanul Kamil” oleh Muhyidin bin Arabiy. Keempat tahapan itu adalah syariat, thariqat, hakikat, dan ma’rifat.
1.  Syariat
Menurut Al Sayyid Bakar Al-Ma’ruf, Syariat adalah perintah-perintah yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.
Menurut Abu bakar al-Ma’ruf syariat adalah: meliputi segala macam perintah dan larangan Allah SWT. Perintah-perintah itu, disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuata yang hukumnya wajib atau fardhu, sunnah (mandub), atau mustahab dan mubah (jaiz) atau keharusan. Sedangkan larangan-larangan yang disebut dengan istilah munkarat meliputi perbuatan yang hukumnya haram dan makruh. Hal-hal yang sifatnya ma’ruf dan munkarat, sudah ada petunjuknya dalam Al-Qur’an dan Hadits, tinggal dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan petunjuk itu. Keterangan ini diterangkan dalam Al-qur’an yang berbunyi:

Artinya: Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
2.  Thariqat
Thariqat dari kata Al-Thariq (jalan) menuju kepada hakikat atau dengan kata lain pengamalan syari’at, yang disebut Al-Jarra atau Al-Amal.
Menurut Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy, thariqat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah yang sebenarnya tidak boleh dipermudah.
3.  Hakikat
Hakikat dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. ilmu hakikat, adalah ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.
Menurut Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf, Hakikat adalah (suasana kejiawaan) seorang salik (sufi) ketika ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya.
Hakikat yang dicapai oleh sufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, ulama sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
a)   Ainul Yaqin: tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya.
b)   Ilmul Yaqin: tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
c)   Haqqul Yaqin: suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani sufi tanpa melihat ciptaan-Nya, sehingga segala tingkah laku dan ucapannya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal.
4.  Ma’rifat
Ma’rifat dari kata “Al-Ma’rifah” berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka ma’rifat berarti mengenal Allah ketika seorang sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.
Menurut Dr. Mustafa Zahri ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.
Menurut Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiry yang meneruskan pendapat Abu al-Thayyib Al-Samiri, ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat samapai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu. Menurut Dhun Nun Al-Misri tanda-tanda yang miliki orang yang sudah ma’rifat adalah:
a)   Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b)   Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c)   Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat menilai bahwa seorang sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT. Menurut syekh Muhammad bin Al-Fadal, bahwa ma’rifat yang dimiliki sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan tuhan-Nya.

M.      CONTOH-CONTOH PERILAKU BERTASAWUF.
N.       TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN
1.  Krisis yang melanda dunia modern atau problematika masyarakat modern
Allah memberikan isyarat lewat firmannya dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum (30): ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾
Artinya:”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Kehadiran Ilmu pengetahuan dan Teknologi telah menimbulkan beberapa krisis dan problematika yang melanda masyarakat Modern diantaranya adalah:
a.   Desintegrasi ilmu pengetahuan.
kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi dibidang ilmu pengertahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang)nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang menghadapi masalah lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, sosiologi, ahli biologi, etnologi dan ekonomi misalnya, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini pada akhirnya dapat membingungkan manusia. Dengan menyempitnya pintu masuk bagi persepsi dan konsepsi spiritual, maka manusia modern semakin berada pada garis tepi, sehingga tidak lagi memiliki etika dan estetika yang mengacu pada spesialisasi, sehingga jikalau semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan petunjuk jalan yang mengusai semuanya, yang terjadi adalah kian jauhnya manusia dari pengetahuan (kearifan) akan kesatuan alam. Perkembangan semacam ini  diisyaratkan oleh Nas sebagai manusia modern yang memang tangannya dalam kobaran api tetapi dirinya sendiri yang menyalakan ketika dirinya sendiri yang melupakan siapa dia sesungguhnya.
b.   Kepribadian yang terpecah (split personalty).
Kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang kering dari nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, sehingga manusianya menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan manusia modern diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini tengah menggelinding proses hilangnya kakayaan rohaniyah, karena dibiarkannya perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu yang mengandalkan fakta empirik, obyektif, rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial. Jika proses keilmuan yang berkembang itu tidak berada di bawah kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungnya proses tersebut, semua kekuatan yang akan mempertinggi derajat manusia itu akan hilang, sehingga bukan hanya kehidupan yang mengalami kemerosotan tetapi juga kecerdasan moral kita.
c.   Penyalahgunaan Iptek.
Dengan terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatif sebagaimana disebutkan diatas, misalnya; kemampuan untuk membuat senjata yang diarahkan untuk tujuan penjajahan suatu bangsa atau bangsa lain, subversi dan lain sebagainya. Kemampuan dibidang  rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia. Kecangihan dibidang tehnologi komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan moral umat dan sebagainya.
d.   Pendangkalan iman.
Hal ini dikarenakan pola pikir para ilmuan yang hanya mengakui fakta yang bersifat empiris. Dan tidak tersentuh oleh informasi yang yang datang dari wahyu, bahkan informasi yang dibawa oleh wahyu menjadi bahan tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.
e.   Pola hubungan materialistik.
Pola hubungan masyarakat yang ditentukan oleh seberapa jauh antara yang satu dengan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.
Penghormatan yang diberikan seseorang atas orang lain yang banyak diukur dengan sejauh mana orang tersebut memberikan manfa’at secara material.
Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong menolong yang didasarkan atas panggilan iman yang sudah tidak nampak lagi, karena memang imanya sudah dangkal.
Sehingga Pola hubungannya dengan menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan akal sehat, hati nurani, kamanusiaan dan imannya.
f.    Menghalalkan segala cara.
Hal ini disebabkan oleh dangkalnya iman dan pola hidup matrealistik, sehingga manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi kerusakan akhlaq dalam segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
g.   Stress dan Frustasi.
kehidupan yang penuh kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuannya untuk mengejar target. Mereka terus bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang dicapai tak pernah disyukuri dan selalu merasa kuarang. Apalagi jika usaha dan proyeksinya gagal, maka akan dengan mudah ia kehilangan pegangan. Hal ini disebabkan tidak lagi memiliki pegangan iman yang kokoh. Mereka hanya berpegang kepada hal-hal yang bersifat material yang sama sekali tidak dapat membimbing hidupnya. Akibatnya jika menghadapi masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri akan mudah frustasi bahkan stress, jika hal ini terjadi terus-menerus tidak mustahil akan menjadi gila atau hilang ingatan.
h.   Kehilangan harga diri dan masa depannya.
Karena terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk menuruti hawa nafsu dan segala daya yang ditempuhnya. Sehingga ketika sudah tua renta, fisiknya sudah tidak berdaya, tenaganya sudah tidak mendukung, dan berbagai kegiatan tidak bisa dilakukan, fasilitas dan kemewahan hidup tidak memerlukan lagi. Maka yang dirasa adalah kehilangan harga diri dan masa depannya, kemana ia harus berjalan, ia tidak tahu.
2.  Timbulnya tasawuf modern dalam kehidupan modern
Menurut Prof. Hamka, kita bisa berperilaku sufi atau mengikuti sunnah-sunnah yang sudah digariskan oleh Nabi SAW tanpa harus meninggalkan kehidupan modern. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang harus kita teladani dari kehidupan Nabi antara lain:
a.    Zuhud
Beliau mengajarkan bahwa kekayaan yang sebenarnya bukanlah kekayaan harta benda melainkan kekayaan rohaniyah. Beliau tidak memiliki harta kekayaan padahal sebenarnya bisa memilikinya jika beliau mau. Beliau tidak tertarik pada harta benda karena memandang nilai rohani lebih tinggi kedudukannya.
b.   Hidup sederhana
Dalam kehidupan sehari-hari tercermin kesederhanaan beliau dalam perumahan, pakaian, dan makanan.
Dari segi perumahan, Kasur beliau terbuat dari kulit berisi sabut. Bahkan terkadang beliau tidur di atas tikar daun kurma sehingga membekas pada punggungnya. Pernah seorang sahabat melihat kesedehanaan Nabi, sehingga menawarkan kasur yang empuk. Beliau menolaknya dengan berkata, apakah arti kehidupan dunia ini bagiku. Bagiku dunia hanya ibarat seorang  penunggang kuda yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian dia meninggalkannya.
Dari segi berpakaian, begitu sederhananya. Aisyah pernah memperlihatkan sehelai pakaian Nabi yang kasar yang dipakai beliau pada deti-detik hayatnya yang terakhir.
Dari segi makanan, amat sederhana sekali. Beliau banyak berpuasa dan tidak makan kecuali lapar dan kalaupun makan tidak sampai kenyang.
c.    Bekerja keras
Hidup sederhana yang dicontohkan rasul bukan lahir dari kemalasan. Nabi menyuruh bekerja keras untuk memenuhi hajat hidup dan kelebihan rezeki yang diperolehnya dari cucuran keringat itu untuk kepentingan infaq di jalan Allah SWT. Nabi pernah menandaskan: “bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau mati esok hari”.
Aktif dalam kemasyarakatan dan amal sosial, Rasulullah terkenal amat pemurah. Beliau berkeinginan keras melayani kepentingan umat dan menolong mereka dari segala kesulitan. Rasulullah SAW. Selalu memperhatikan pelayanan terhadap fakir miskin, anak yatim piatu dan orang-orang lemah.
d.   Perbaikan akhlak
Nabi Muhammad SAW. Adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik dalam tingkah laku (akhlaq). Beliau selalu memberi dorongan untuk berbuat ikhsan kepada sesama manusia, berbuat baik pada keluarga dan famili, memuliakan tamu dan tetangga. Nabi menjelaskan pada salah satu sabdanya bahwa: “manusia paling baik ialah yang paling baik perangainya.”. Dalam hal ini, yang dituntut bukan hanya tingkah laku lahir saja melainkan juga sikap batin yang selalu terkontrol dan cendrung kepada jalan kebaikan dan kebajikan.
e.    Ibadah
Rasulullah adalah ahli ibadah yang paling mulia, bukan saja dalam ibadah wajib, melainkan juga dalam ibadah sunnah. Sebagian malamnya dihabiskan dalam sholat malam (tahajjud), jarang meninggalkan rowatib dan setiap waktu selalu dalam dzikir dan istighfar. Sekalipun beliau sunyi dari dosa, beliau beristigfar tidak kurang dari 70-100 kali sehari.
Selain tasawuf modern yang ditawarkan oleh Prof. Hamka, ada tasawuf yang layak dipraktikkan kedalam kehidupan modern, yaitu tasawuf positif. Prinsip tasawuf positif ialah menekankan pentingnya nilai-nilai tasawuf yang positif dan sesuai dengan kehidupan kini. Gagasan  tasaawuf ini berawal dari fakta bahwa citra tasawuf masih berkutar dalam ekses-ekses negative yang berkaitan dengan hal-hal yang mistis sehingga orang modern jarang atau tidak tertarik pada kehidupan tasawuf.
Diantara ajaran tasawuf positif yang dikembangkan dalam kehidupan modern adalah:
a.    memandang zuhud sebagai prinsip tasawuf yang selaras dengan kewajiban zakat.
Bila ajaran zuhud pada zaman dulu melazimkan sufi untuk meninggalkan kehidupan duniawi yang menjerat nafsu, maka pada zaman kini orang kaya dapat berprilaku zuhud dengan jalan atau cara mengeluarkan zakat dan infaq. Ia masih boleh terikat secara fisik dengan dunia tetapi kehidupan rohaniah selalu terpelihara dari jeratan dan jebakannya. Hartanya akan selalu ia bagi-bagikan kepada kaum fakir yang membutuhkan. Do’anya setiap waktu adalah “ya Allah, jadikanlah aku orang kaya yang selalu berderma. Letihkanlah aku untuk membagi-bagikan titipanMu”.
b.    Memahami amal saleh secara luas, tanpa membatasi pada amal-amal yang bersifat agamis.
Misalnya, bekerja secara professional, membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran, dan mewujudkan sistem perbankan yang berkeadilan sosial.
c.    Bekerja keras sebagai salah satu cara dalam menerjemahkan kehendak Allah atau menjemput takdir-Nya.
Bekerja dipandang sebagi upaya untuk mengasah potensi diri atau fitrah yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan.

d.   Berusaha menintegrasikan nilai-nilai Tasawuf ke dalam dunia modern, seperti ke dalam dunia bisnis, ekonomi, politik, hingga ke dalam teknologi komunikasi.